RESENSI NOVEL SEJARAH
Judul : Hoegeng; Polisi dan Menteri Teladan
Penulis : Suhartono
Penerbit : Kompas
Tahun: 2013
Genre : Sosial & Politik
Tebal : 142 Halaman
ISBN: 978-979-7097-69-1
Institusi kepolisian tak henti-hentinya menjadi sorotan. Lihat saja adanya rekening "gendut" pimpinan Polri, tindakan pencucian uang, kepemilikan narkoba, isu suap kenaikan pangkat, dan persoalan-persoalan indisipliner anggota kepolisian. Ini semua semakin menjatuhkan citra Polri di mata masyarakat.
Polri seharusnya sebuah korps yang memiliki integritas, disiplin, dan profesional dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Polri seharusnya juga lembaga yang antikorupsi, antisuap, dan anti persekongkolan. Polri harus selalu menjadi garda depan dalam menindak setiap kejahatan.
Dalam perjalanan sejarahnya, Polri telah melahirkan tokoh polisi yang bersahaja, disiplin, jujur, tak mau kompromi, dan tak gampang tergiur harta. Dia tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan sendiri. Dialah Hoegeng.
Tentang Hoegeng ini, mendiang mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) punya statement khas dan menarik. Menurut Gus Dur, di Indonesia ini, hanya ada tiga polisi yang jujur alias tak bisa disuap, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.
Hoegeng yang dimaksud Gus Dur adalah almarhum Jenderal (Pol) Hoegeng Iman Santoso, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) di masa transisi Orde Lama menuju Orde Baru. Ia adalah sosok teladan seorang polisi yang menjaga integritasnya sampai akhir hayat. Sebagai polisi, Hoegeng dikenal jujur, sederhana, dan tak kenal kompromi.
Hoegeng tidak aji mumpung meskipun menjadi pemimpin dan pejabat negara. Dia tidak memanfaatkan jabatannya untuk memberi surat izin bagi putranya menjadi taruna ABRI ketika itu, atau kemudahan bagi putrinya untuk sekadar lolos di perguruan tinggi negeri dengan fasilitas jabatannya. Hingga wafatnya pada 14 Juli 2004, Hoegeng tidak memiliki rekening gendut. Ia hanya memiliki uang pensiun.
Itulah sebagian kisah yang diceritakan dalam buku Hoegeng; Polisi dan Menteri Teladan yang ditulis dari penuturan bekas asisten dan sekretaris pribadi Hoegeng, Soedharto Martopoespito. Ketika itu, Hoegeng menjadi menteri/sekretaris presidium kabinet pada periode Maret 1966 hingga Juli 1966, hingga persinggungannya saat Hoegeng menjabat Wakapolri dan kemudian Kapolri (1968–1971).
Sang asisten baru berkisah setelah 48 tahun kemudian, setelah pensiun, dan Hoegeng sudah meninggal. Kekhasan pribadi Hoegeng sangat membekas. Tak heran kebiasaan Hoegeng terekam dengan baik. Misalnya, dia tak mau dikawal dan tidak mau mengambil jatah beras. Pribadi Hoegeng ini membuat rikuh para kolega, apalagi anak buahnya, karena perilakunya lurus dan antikorupsi.
Sang istri, Meriyati Roeslani (Meri), memiliki pengertian yang luar biasa akan prinsip hidup suaminya. Saat Hoegeng menjabat sebagai kapolri, ia tak mengizinkan istrinya menjadi Ketua Umum Bhayangkari, yang biasa dijabat istri kapolri. Hoegeng berkata kepada istrinya, "Hoegeng ini komandan polisi di Indonesia, tetapi Meri bukan komandan dari istri-istri para polisi," (halaman 91).
Kepada anak-anaknya, Hoegeng juga bersikap tegas dan tanpa kompromi. Dia tak ingin anak-anaknya hidup manja dan menggantungkan diri pada jabatan ayahnya. Untuk mengajarkan kemandirian dan kerja keras, Hoegeng mengizinkan anak-anaknya berjualan koran dan kue. Anak kedua Hoegeng, Aditya Soetanto Hoegeng, tak pernah merasakan fasilitas negara (halaman 72).
Sebagai pejabat negara dan mantan Kapolri, Hoegeng tak memiliki apa-apa sampai wafatnya, kecuali kejujuran itu sendiri. Kisah hidup dan teladan Hoegeng Iman Santoso tentu bisa menjadi cermin perlunya sosok polisi yang bersahaja, terbuka, jujur, profesional, tanpa kompromi, dan anti-KKN. Keteladanan seorang polisi seperti Hoegeng diperlukan untuk mendorong perubahan.
No comments:
Post a Comment