Wednesday, December 26, 2018

RESENSI Buku Presiden Prawiranegara (Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia)

Judul               :  Presiden Prawiranegara
                          Kisah 207 Hari Syafruddin
                          Prawiranegara
                          Memimpin Indonesia
Penulis             : Akmal Nasery Basral
No. ISBN          : 9789794336137
Penerbit           : Mizan
Tanggal terbit   : Maret – 2011
Tebal buku         : 400
Kategori          : Memoar

RESENSI Buku Presiden Prawiranegara (Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia)Walau hanya sesaat, seorang presiden tetaplah sosok yang pernah memimpin bangsa ini! Untuk itu , sosok Syafruddin Prawiranegara  seyogyanya dikenang dan dihormati. Banyak yang tidak mengenal sosoknya, apalagi kaum muda saat ini. Padahal  beliau sangat berjasa bagi bangsa kita, dari sisi pemerintahan dan ekonomi.

Buku ini berisi cerita yang dituturkan oleh seorang anak pribumi bernama Kamil Koto. Sungguh beruntung dia. Walau sebentar, ia sempat berada dekat bahkan memijat salah satu putra bangsa kita,  Presiden Syafruddin Prawiranegara.  Dengan  mengharukan,  Kamil Koto  berbagi kisah  seputar Presiden Syafruddin Prawiranegara, yang selama 207 hari  menjadi nahkota bagi republik ini.  Sebuah perjuangan yang mungkin terlupakan, namun sangat penting bagi kelangsungan bangsa ini.

Dalam buku  ini peristiwa berdirinya PDRI teruraikan  dengan detail. Sejak  kedatangan Bung Hatta pada November 1948 ke rumah Syafrudin Prawiranegara di Jogya yang menugaskan Syafruddin untuk berangkat ke Bukittinggi sesuai dengan kapasitasnya selaku Menteri Kemakmuran. Saat itu hanya Yogya, Bukittinggi, dan Aceh yang bukan merupakan bagian negara federal bentukan Van Mook. Jadi tiga tempat itulah yang merupakan benteng pertahanan Republik. Pada 19 Desember 1948  terjadi Agresi Militer II. Bung Karno dan Bung Hatta  mengantisipasi jika mereka tertangkap dengan membuat rencana untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera yang akan dipimpin oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara.

Dua buah kawat yang memberikan mandat kepada Syafruddin untuk membentuk pemerintahan darurat segera dibuat untuk dikirimkan, satu ditujukan kepada Mr. Syafrudin, dan satu lagi untuk Drs, Sudarsono selaku dubes RI di India dan Mr Alex Maramis selaku menteri Keuangan yang saat itu sedang bertugas di New Delhi.  Tapi apa mau  kantor Pos & Telegram serta RRI sudah dikuasai Belanda. Sehingga  kedua kawat tersebut tak sempat terkirimkan

PDRI ini sngkatan dari Pemerintah Darurat Republik Indonesia, dideklarasikan untuk melanjutkan pemerintahan Republik Indonesia setelah Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap tentara Belanda beberapa hari lalu di Yogyakarta. Para pejuang terbaik bangsa kita memutuskan bahwa pemerintahan harus dilanjutkan meskipun dari tempat terasing seperti kebun teh ini.

Situasi di Bukittinggi  juga kian  membahayakan. Belanda nyaris berhasil menguasai kota.  PDRI sepakat untuk membumihanguskan kota itu sedangkan Syafruddin dan seluruh pimpinan PDRI mengungsi ke sebuah tempat terpencil di tengah rimba Sumatera. Guna  menjalankan pemerintahan. Selama dalam pengungsian pemerintahan tetap berjalan dengan melakukan banyak koordinasi melalui  Radio AURI

Sosok Kamil Koto, tidak  saja mengajak kita mengikuti tapak tilas perjuangan para putra terbaik bangsa kita, namun juga pergolakan bathin para anak manusia serta metamorfosis seorang preman pasar menjadi pejuang dan pengusaha sukses. Bagaimana  pengorbanan tanpa pamrih dilakukan dengan  nekat kuat demi sebuah  tujuan mulia, KEMERDEKAAN!

Kita memang mendapat banyak hal dari buku ini, selain peristiwa sejarah yang nyaris dilupakan. Saat sekolah, saya hanya tahu Peristiwa Bandung Lautan Api dan Agresi Militer Belanda. Melalui buku ini, saya jadi tahu ada pembumihangusan Bukittinggi. Juga bagaimana peristiwa Agresi Militer Belanda dengan lebih lengkap,serta tak ketinggalan kisah bagaimana perjuangan Jendral Besar Sudirman memimpin gerilya dari atas tandu yang legendaris.

Kisah mengenai Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang mengendarai mobil menjemput Bung Hatta membuat saya terseyum. Wajar jika Bung Hatta terkejut! Status Sultan adalah sebagai raja sedangkan mereka adalah tamu. Dan biasanya seorang raja tidak mengendarai mobilnya sendiri apalagi saat itu situasi sedang genting.

Bonus kisah bagaimana  sempat terjadi keributan kecil antara pemimpin bangsa kita, menunjukkan betapa kuatnya tekanan yang harus mereka hadapi. Biar bagaimana mereka juga manusia biasa yang kadang kesal dan punya amarah. Hanya tekat kuat dan semangat lah yang bsai mempersatukan mereka

 Selama era kemerdekaan, Sjafruddin pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Kemakmuran. Saat menjabat sebagai  Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta pada 10 Maret  1950 , beliau mengeluarkan  kebijakan yang dikenal dengan nama Gunting Sjafruddin . Kebijakan itu berupa memotong uang bernilai Rp 5 lebih hingga separuh.

Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00.

Mulai 22 Maret - 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lewat tanggal tersebut, maka bagian kiri itu dianggap tidak berlaku lagi. Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar empat puluh tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. Kebijakan ini juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).

Sjafruddin menjadi Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama tahun 1951. setelah sebelumnya menjabat sebagai  Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir.  Bersama Oei Beng To, beliau  menulis buku Sejarah Moneter
Beliau meninggal dunia, 15 Februari 1989 di Jakarta

RESENSI NOVEL Hoegeng; Polisi dan Menteri Teladan

RESENSI NOVEL SEJARAH

Judul : Hoegeng; Polisi dan Menteri Teladan
Penulis : Suhartono
Penerbit : Kompas
Tahun: 2013
Genre : Sosial & Politik
Tebal : 142 Halaman 
ISBN: 978-979-7097-69-1

RESENSI NOVEL Hoegeng; Polisi dan Menteri TeladanInstitusi kepolisian tak henti-hentinya menjadi sorotan. Lihat saja adanya rekening "gendut" pimpinan Polri, tindakan pencucian uang, kepemilikan narkoba, isu suap kenaikan pangkat, dan persoalan-persoalan indisipliner anggota kepolisian. Ini semua semakin menjatuhkan citra Polri di mata masyarakat.

Polri seharusnya sebuah korps yang memiliki integritas, disiplin, dan profesional dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Polri seharusnya juga lembaga yang antikorupsi, antisuap, dan anti persekongkolan. Polri harus selalu menjadi garda depan dalam menindak setiap kejahatan.

Dalam perjalanan sejarahnya, Polri telah melahirkan tokoh polisi yang bersahaja, disiplin, jujur, tak mau kompromi, dan tak gampang tergiur harta. Dia tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan sendiri. Dialah Hoegeng.

Tentang Hoegeng ini, mendiang mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) punya statement khas dan menarik. Menurut Gus Dur, di Indonesia ini, hanya ada tiga polisi yang jujur alias tak bisa disuap, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.

Hoegeng yang dimaksud Gus Dur adalah almarhum Jenderal (Pol) Hoegeng Iman Santoso, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) di masa transisi Orde Lama menuju Orde Baru. Ia adalah sosok teladan seorang polisi yang menjaga integritasnya sampai akhir hayat. Sebagai polisi, Hoegeng dikenal jujur, sederhana, dan tak kenal kompromi.

Hoegeng tidak aji mumpung meskipun menjadi pemimpin dan pejabat negara. Dia tidak memanfaatkan jabatannya untuk memberi surat izin bagi putranya menjadi taruna ABRI ketika itu, atau kemudahan bagi putrinya untuk sekadar lolos di perguruan tinggi negeri dengan fasilitas jabatannya. Hingga wafatnya pada 14 Juli 2004, Hoegeng tidak memiliki rekening gendut. Ia hanya memiliki uang pensiun.

Itulah sebagian kisah yang diceritakan dalam buku Hoegeng; Polisi dan Menteri Teladan yang ditulis dari penuturan bekas asisten dan sekretaris pribadi Hoegeng, Soedharto Martopoespito. Ketika itu, Hoegeng menjadi menteri/sekretaris presidium kabinet pada periode Maret 1966 hingga Juli 1966, hingga persinggungannya saat Hoegeng menjabat Wakapolri dan kemudian Kapolri (1968–1971).

Sang asisten baru berkisah setelah 48 tahun kemudian, setelah pensiun, dan Hoegeng sudah meninggal. Kekhasan pribadi Hoegeng sangat membekas. Tak heran kebiasaan Hoegeng terekam dengan baik. Misalnya, dia tak mau dikawal dan tidak mau mengambil jatah beras. Pribadi Hoegeng ini membuat rikuh para kolega, apalagi anak buahnya, karena perilakunya lurus dan antikorupsi.

Sang istri, Meriyati Roeslani (Meri), memiliki pengertian yang luar biasa akan prinsip hidup suaminya. Saat Hoegeng menjabat sebagai kapolri, ia tak mengizinkan istrinya menjadi Ketua Umum Bhayangkari, yang biasa dijabat istri kapolri. Hoegeng berkata kepada istrinya, "Hoegeng ini komandan polisi di Indonesia, tetapi Meri bukan komandan dari istri-istri para polisi," (halaman 91).

Kepada anak-anaknya, Hoegeng juga bersikap tegas dan tanpa kompromi. Dia tak ingin anak-anaknya hidup manja dan menggantungkan diri pada jabatan ayahnya. Untuk mengajarkan kemandirian dan kerja keras, Hoegeng mengizinkan anak-anaknya berjualan koran dan kue. Anak kedua Hoegeng, Aditya Soetanto Hoegeng, tak pernah merasakan fasilitas negara (halaman 72).

Sebagai pejabat negara dan mantan Kapolri, Hoegeng tak memiliki apa-apa sampai wafatnya, kecuali kejujuran itu sendiri. Kisah hidup dan teladan Hoegeng Iman Santoso tentu bisa menjadi cermin perlunya sosok polisi yang bersahaja, terbuka, jujur, profesional, tanpa kompromi, dan anti-KKN. Keteladanan seorang polisi seperti Hoegeng diperlukan untuk mendorong perubahan.  
Night Mode