Mungkin Kalian pernah
mendengar Nama Kartini namun pernahkah kalian mendengar atau mengetahui sejarah
adik Kartini bernama Kardinah?
Nama Kardinah nyaris
berada di bawah bayang-bayang kebesaran nama kakaknya Kartini. Padahal
perjuangannya dalam meninggikan derajat perempuan dan menolong kaum lemah tak
Kalah dengan Kartini. Salah satu penyebabnya, Kardinah tak seerat Kartini dalam
bersahabat dengan Nyonya Abendanon atau Nyonya Ovink-Soer.
Biografi
Kardinah Lahir di
Jepara pada 1 Maret 1881, Kardinah merupakan anak ke-7 Bupati Jepara RM
Sosroningrat. Dia anak pertama dari selir (garwa ampil) bupati bernama M.A.
Ngasirah.
Ayahnya selalu
menularkan kepekaan sosial kepada anak-anaknya Kartini, Kardinah dan Roekmini. Setelah
sudah agak besar, kardinah, roekmini, dan kartini sering disuruh oleh rama
(bapak) untuk ikut meninjau tempat-tempat penderitaan rakyat. Maksud rama
supaya Kardinah melihat sendiri dari dekat bencana-bencana yang menimpa rakyat
itu dan mendapat kesan bagaimana susahnya hidup mereka yang melarat dan hina
itu,
Selain memberikan
pendidikan formal seperti ELS (Europese Lagere School), ayah kardnah
memanggilkan guru ke rumah. Bersama saudara-saudaranya, mereka membaca,
belajar, dan berdiskusi. Mereka kemudian bercita-cita untuk memberikan pendidikan
bagi anak-anak perempuan.
Setelah enam tahun
bersama, akhirnya kakak-beradik ini harus berpisah Kardinah menikah dengan Patih
Soejitno, anak Bupati Tegal Ario Reksonegoro, pada 24 Januari 1902, karena
pernikahannya ini membuat kardinah tidak bisa lagi hidup bersama dengan kedua
saudaranya. Mula-mula Kartini dan Roekmini tidak merasa sedih di
dalam Keramaian resepsi pernikahan itu
membuat mereka tak sadar mereka akan berpisah. Bahkan tatkala pada 31 Januari
1902 Kardinah diboyong ke Pemalang oleh suaminya dan pada saat perpisahan yang
sungguh-sungguh telah tiba, mereka tidak menunjukkan sesuatu emosi.
Sampai pada suatu
malam, Kartini memainkan lagu kesayangan mereka dengan piano. Kartini pun harus
merayakan kesedihannya karena “kehilangan adik si kecil.” Kardinah menghabiskan
waktunya sebagai istri priyayi dengan mendidik anak-anak tirinya.
Dia pun kemudian
membangun sekolahnya sendiri, Kardinah mulai mewujudkan cita-cita Het
Klaverblad (daun semanggi) atau “Tiga Saudara” –julukan yang Nyonya Ovink-Soer,
istri asisten residen Jepara, berikan kepada Kartini, Rukmini, dan Kardinah.
Kardinah yakin posisi
sosialnya mewajibkannya untuk melakukan sesuatu bagi masyarakat –sebagai bentuk
tanggung jawab itu, sebagaimana saudara perempuannya, Roekmini, dia berpikir
bahwa tidak semestinya orang asing saja yang harus berbuat, meski jelas sekali
mereka juga punya tanggung jawab dalam merefleksikan peran politik dalam
komunitas politik Jawa secara umum,
Kepedulian
Kardinah Terhadap Pendidikan
Kardinah tak puas terhadap
kebijakan pemerintah kolonial yang membatasi akses pendidikan kaum bumiputera.
Hanya anak bangsawan yang bisa mendapatkan pendidikan baik dengan bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar. Kardinah tanpa ragu-ragu melakukan berbagai
tindakan ke arah modernisasi. Dalam usaha itu, ia mendapat dukungan sepenuhnya
dari suaminya yang progresif dan berkobar-kobar. Kardinah terbantu dengan
statusnya sebagai Nyonya Bupati. Suami Kardinah menjadi Bupati Tegal sejak Juni
1908 saat Haryono menggantikan ayahnya. Namanya pun menjadi Raden Mas Adipati
Ario Reksonegoro
Jika Kartini terkenal
dengan buku Habis Gelap Terbtlah Terang, Kardinah Juga menulis buku. Kardinah
setidaknya menulis dua buku soal masakan dan dua buku soal batik. Hasil
penjualannya, ditambah sumbangan lain, digunakan Kardinah untuk membangun
Sekolah Kepandaian Putri Wisma Pranowo pada 1 Maret 1916. Dia juga mendapat
bantuan dana dari istri Asisten Residen Tegal HM de Stuers, istri kontrolir
Tegal E. van den Bos, dan istri Patih Tegal Raden Ayu Soemodirdjo. Kardinah
lalu mendirikan sekolah kepandaian putri Wismo Pranowo (WP) pada 1 Maret 1916.
Biaya operasional ditanggung masyarakat yang mampu, selain dari hasil pasar
amal dan sumbangan. Segala keperluan sekolah diberikan secara cuma-cuma. Tiap
murid hanya dibebankan uang sekolah 50 sen. Residen Pekalongan juga
mendukungnya. Tak lupa, Kardinah juga berhubungan dengan tokoh pendidikan lain
macam Ki Hadjar Dewantara, yang memberinya banyak nasihat soal pendidikan
Kardinah menggunakan
model pendidikan yang digariskan Kartini: ibu menjadi pusat kehidupan rumah
tangga. Tak ada yang lebih baik daripada
pendidikan seorang ibu yang telah tercerdaskan,
Mata pelajaran di WP
antara lain bahasa Belanda, dasar pendidikan kebangsaan dan kebudayaan Jawa,
Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K), mengaji Alquran, membatik, dan
pendidikan watak. Kardinah ikut mengajar. Begitu pula Ki Hajar Dewantoro. Meski
menggunakan sistem pendidikan yang ditetapkan Kartini, WP bukan Sekolah Kartini
karena biaya operasional tak ditanggung gubernemen.
Awalnya sekolah itu
hanya menempati bekas gedung kantor kabupaten, dengan murid 150 orang. Tapi
tahun 1924 sudah terdapat 200 murid dan enam ruang belajar. Banyak pihak
tertarik dengan model pendidikan WP. Dewi Sartika, tokoh pendidikan Priangan,
salah satunya. Bersama adiknya, Sari Pamerat, dia berkunjung ke Tegal untuk
mempelajari sistem pendidikan WP. Mereka juga ikut mengajar selama empat bulan.
Pemerintah akhirnya mengambil-alih sekolah itu dan mengubahnya jadi Kopschool
(sekolah kejuruan bagi kaum perempuan) dan Onderbouwschool (sekolah rendah)–
pada 24 Oktober 1924 dengan kompensasi f 16.000.
Selain Sekolah Kardinah
juga mendirikan sebuah perpustakaan yang diberi nama Panti Sastra. Dananya
didapat secara swadaya. Bersama kakaknya, Sosro Kartono
Apresiasi
Kolonial Belanda terhadap Kepedulian Kardinah di bidang Kesehatan
Kardinah juga prihatin
dengan kondisi kesehatan rakyat di Tegal, terutama ketika tahu murid-muridnya
melahirkan tanpa dukungan tenaga dan fasilitas memadai. “Orang sakit kok
ditidurkan di tikar, bagaimana itu?” ujar Kardinah tak puas. Dia mencurahkan
perhatiannya pada dunia kesehatan, dengan membangun fasilitas kesehatan dan
memperbaiki pengetahuan medis masyarakat yang kala itu lebih percaya pada
klenik.
Pada 1927 Kardinah
mendirikan Kardinah Ziekenhuis atau Rumah Sakit Kardinah. Dana dari kompensasi
WP dan hasil penjualan buku-bukunya serta keuntungan penjualan kerajinan tangan
buatan murid-murid WP. Residen Pekalongan Schilling termasuk orang yang
mendukung niatnya dengan membantu pendanaan. Schilling pula yang minta rumah
sakit itu dinamai Kardinah. Pemerintah pusat dan daerah ikut mensubsidi. Rumah
Sakit Kardinah, merupakan lambang pengabdian yang nyata dari Tiga Saudara
kepada kemanusiaan, seperti yang mereka idam-idamkan bersama,
Tak lama kemudian
Kardinah juga membangun sebuah rumah penampungan bagi orang-orang miskin di
sekitar Kardinah Ziekenhuis. Pemerintah Hindia Belanda mengapresiasi jasa-jasa
Kardinah dengan menganugerahkan bintang Ridder van Oranje Nassau –pemerintah
Indonesia sendiri pada 21 Desember 1969 menganugerahkan Lencana Kebaktian
Sosial Republik Indonesia.
Terluka oleh Kaum Sendiri
Pada 1930. Kesehatan
Suami Kardinah semakin menurun. Setelahnya, mereka berdua menetap di kota kecil
sejuk, Salatiga. Salah satu putrinya menikah dengan Raden Sunarjo, yang di
tahun 1944-1945 menjabat Bupati Tegal.
Sekitar bulan Oktober
1945, Kardinah berada di Tegal lagi, bersama anak-mantu dan juga cucunya. Kala
itu revolusi Indonesia mulai bergolak dan revolusi sosial mengikuti. Kosongnya
kekuasaan dan tidak adanya otoritas memungkinkan kaum kromo membalas dendam.
Kaum ini ratusan tahun tertindas Belanda, Jepang, dan tentu saja feodalisme
Jawa.
Mereka bergerak dan
menjadikan kaum priyayi yang pernah jadi alat kekuasaan Belanda juga Jepang
sebagai sasaran, tak terkecuali keluarga bupati. Peristiwa semacam itu terjadi
di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan—dan dikenal sebagai Revolusi Tiga
Daerah.
Gerombolan itu semula
berusaha mencari Sunarjo yang tak mereka temukan. Kardinah, yang kala itu sudah
berusia 64 tahun, kebetulan berada di Kadipaten. Hari itu tanggal 13 Oktober
1945, gerombolan menyerbu masuk. Pakaian kebesaran bupati, yang bagi mereka
simbol feodalisme, mereka obrak-abrik. Sunarjo, Bupati Tegal menantu Kardinah
itu, tak mereka tangkap. Tapi keluarganya, termasuk Kardinah, dijadikan
bulan-bulanan.
Kardinah menjadi
korban revolusi sosial pada Peristiwa Tiga Daerah,” tulis Anton Lucas dalam
bukunya Peristiwa Tiga Daerah (1989). “Istri Bupati beserta ibunya, R.A.
Kardinah (kakak kandung R.A. Kartini), dan cucu perempuannya beserta pembantu
mereka diberi pakaian goni dan diarak keliling dan berhenti di depan rumah sakit
yang didirikan RA Kardinah.
Kardinah yang tua renta
itu lalu pura-pura sakit sehingga dia pun digotong ke rumah sakit dan akhirnya
diselamatkan. Setelahnya, dia tinggal di Salatiga. Kardinah trauma dengan apa
yang dialaminya di Tegal dan menjalani masa tuanya di Salatiga sampai meninggal
dunia pada 5 Juli 1971 di usia 90 tahun. Kardinah dimakamkan di samping makam
suaminya.di daerah Tegalarum, Tegal, daerah yang dia tinggali setelah terpisah
dari Kartini.